0

Suatu ketika, ada seorang Guru yang sangat terkenal yang mempunyai banyak murid. Sebelum meninggal, dia tidak tahu pasti siapakah yang akan menggantikannya. Dia sudah memikirkan seorang calon penerus yang akan menggantikannya ketika dia meninggal dunia, tetapi dia tidak terlalu yakin. Maka, dia membuat sebuah ujian.

Dia meminta semua muridnya untuk pergi ke ladang yang luas dan menginstruksikan setiap orang untuk membangun sebuah rumah untuknya. Dia berkata bahwa siapa yang membangun rumah terbaik, dia akan mewariskan jabatan Guru kepada orang tersebut, kepada murid tersebut. 

    Tetapi, setiap orang membangun sebuah rumah dan kemudian Guru itu datang memeriksa saat rumah itu selesai dibangun, lalu berkata, "Tidak, aku tidak menyukainya, bongkar dan bangun lagi yang lain." Dia memerintah mereka seperti itu berulang kali, sehingga muridnya menjadi semakin sedikit. Mereka berpikir, "Guru kita gila. Karena dia sudah tua sekarang, dia tak tahu lagi apa yang sedang dia lakukan. 

    Maka, lebih baik kita meninggalkan dia, agar tidak membuang-buang waktu kita." atau "Guru macam apakah itu? Dia bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan, dan dia selalu membuat masalah untuk kita. Membangun rumah dan membongkarnya, lalu membangun rumah dan membongkarnya lagi - apa gunanya itu?" Ini hampir sama dengan cerita Milarepa.

    Maka, pada akhirnya, hampir semua murid Guru itu meninggalkannya, termasuk salah satu murid yang membangun rumah sebanyak enam puluh sembilan kali. Kemudian, hanya tertinggal satu orang murid saja. Dia membangun rumah sebanyak tujuh puluh kali, yang terakhir. Maka, tentu saja Guru itu mewariskan jabatan Guru kepada orang ini.

    Pelajaran yang dapat di petik dari cerita di atas yaitu Bukanlah karena kesabarannya yang menyebabkan murid ini tetap tinggal, tetapi karena murid ini mempunyai pengetahuan batin; dia mengetahui kehebatan Gurunya dari pengalaman serta kebijaksanaannya sendiri. 

    Jika seorang murid tidak mencapai tingkatan tertentu, maka tidaklah ada cara baginya untuk memahami kehebatan sang Guru, karena mereka berada pada tingkat kesadaran yang berbeda. Sebagai contoh, seorang anak tidak bisa mengerti sepenuhnya tentang apa yang diketahui oleh ayahnya. Meskipun sang ayah mengajarinya, dia mungkin tidak mengerti sama sekali. Hanya ketika dia tumbuh lebih dewasa, barulah dia bisa mengerti akan hal-hal tersebut.

    Demikian, semoga bermanfaat.

    Post a Comment

     
    Top